Tentu saja setiap orang
berhak untuk menjadi kaya.Yang patut dipertanyakan adalah : (1) Apakah benar
ada cara instan yang halal untuk menjadi kaya? (2) Apa yang dilakukan orang
agar dia menjadi kaya? (3) apakah dengan kaya otomatis anda menjadi wirausaha?
(4) apakah anda sudah pantas (sudah saatnya) hidup bergelimang harta ?
Pertanyaan-pertannyaan
ini patut direnungkan karena seseorang berwirausaha bukan hanya sehari atau dua
hari, setahun atau dua tahun. Kewirausahaan adalah sebuah pilihan hidup yang
melekat di sepanjang hidup seseorang. Jika anda terlalu emosi, serakah, ingin
serba instan, bisa jadi bukan keberhasilan atau kesejahteraan yang diraih,
melainkan kebencian, cacian, peristiwa hukum, dan penjara yang menanti anda.
Selain berpotensi
memberi kebahagiaan dan kemandirian, kewirausahaan yang tidak dilandasi dengan
etika yang kuat juga berpotensi negatif, berisiko, dan bisa membuat masa depan
Anda tamat dalam sekejap. Oleh karena itu, berusahalah dengan memegang teguh
nilai-nilai etika sedari Anda muda dan jangan berkompromi sekecil apa pun.
Bangunlah karakter dan milikilah reputasi.
|
Lebih baik tumbuh
bertahap tapi langgeng, daripada terang dalam sekejap, lalu mati dan
meninggalkan aroma busuk. Mungkin Anda harus bersabar lima tahun sebelum bisnis
Anda benar-benar bersinar, tetapi ia terus tumbuh. Ada cobaan yang Anda hadapi,
tetapi itu bukan membuar Anda mati, melainkan bangun dan membuat Anda lebih
tangguh menghadapi hari esok lebih berat.
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar berbisnis dapat dilakukan dengan etis adalah :
1.
Berperilaku jujur dalam menjalankan
aktivitas bisnis, ini meliputi seluruh aspek dalam menjalankan usaha. Misalnya
dalam aspek produksi, berperilaku jujur berarti kita menghasilkan produk sesuai
dengan standar kualitas, aman dikonsumsi orang lain, dan memenuhi ketentuan
yang dipersyaratkan oleh hukum maupun pembeli. Jujur juga berarti terbuka,
menyebutkan segala kekurangan dan bahaya yang timbul dari produk Anda. Jujur
dalam berrproduksi, memasarkan dan membayar pajak.
2.
Menaati tata nilai. Dalam melakukan aktivitas
bisnis, ada tata nilai yang tidak tertulis yang berlaku universal dan harus
kita jalankan. Misalnya nilai sama-sama untung (win-win), saling menghormati,
memberi tahu, mencegah kerugian pihak lain, keterbukaan, adilm santun,
melayani, dan seterusnya.
3.
“walk the Talk” bermakna konsisten
antara apa yang dilakukan dengan apa yang diucapkan. Hal ini berarti sebagai
seorang wirausaha, Anda perlu bekerja keras untuk menjadi contoh dan
menjalankan hal-hal positif yang Anda ucapkan. Dalam menjalankan aktivitas
usaha, hal tersebut akan menjadi patokan dalam tindakan keseharian maupun
keputusan-keputusan yang dibuatnya.
KASUS
: ADAM AIR
Belajar
dari Kegagalan Si Burung Besi Oranye
Oleh : Eva Martha Rahayu, Majalah SWA
Tiap
tahun jumlah penumpang Adam Air naik dan puncaknya pada 2007, yaitu sebesar
6,25 juta orang. Namun, bobroknya manajemen berdampak pada di-grounded-nya
maskapai tersebut. Apa saja pelajaran berharga dari kejatuhan Adam Air
tersebut?
Hampir dua bulan ini sejumlah burung besi yang
didominasi warna oranye dan berlogo manusia bersayap yang tengah siap terbang
itu tidak menyambangi langit biru yang menjadi rute penerbangannya. Ya, sejak
19 Maret 2008, pesawat Adam Air memang tidak mengangkasa lagi akibat dibekukan
izin terbangnya (operation specification)
oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, karena banyaknya persoalan yang kini
masih dalam penyidikan hukum, Adam Air tinggal
mengantongi tiket Airline Operating Certificate (Izin Operasional Terbang) yang
terancam akan dicabut jika dalam waktu tiga bulan mendatang belum ada perbaikan
atas masalah yang terjadi.
Konsumen, regulator, pelaku industri penerbangan,
dan karyan PT. Adam Sky Connection Airlines (Adam Air) menuding persoalan
kompleks menjadi biang keladi kejatuhan perusahaan itu. Padahal, kalau kita
tengok ke belakang, perkembangan bisnis Adam Air cukup mengesankan. Lihatlah di
awal operasi pada tanggal 19 Desember 2003, Adam Air hanya menerbangkan dua
pesawat Boeing 737 sewaan dari GE Capital Avation Services, dan pada 2008
diperkuat oleh 22 pesawat. Itu belum termasuk gambaran jumlah oenjualan tiket
yang laris manis.
Berdasarkan data Diretorat Angkatan Udara, tahun
2004, penumpang domestik Adam Air yang menggunakan lima armada sebanyak 484.754
orang. Tahun 2005, dengan didukung 15 armada, jumlah penumpang naik lagi, yaitu
domestik 2.324.996 orang dan internasional 106.423 orang. Pada tahun 2006,
jumlah penumpang dalam negeri tercarar 4.873.753 orang dan kargo domestik
16.622 ton. Lalu, tahun 2007 boleh dibilang puncak pertumbuhan Adam Air selama
lima tahun terakhir. Jumlah penumpang domestik 6.252.373 orang dan
internasional 120.618 orang, dengan armada 22 pesawat.
Lantas, mengapa perusahaan penerbangan yang dibesut
pasangan suami-istri Suherman dan Sandra Ang itu sekarang kolaps? “Dalam kasus
Adam Air, penyebab kegagalan terbesar adalah faktor internal. Sementara faktor
eksternal adalah trigger atau pemicu yang mempercepat kegagalan tersebut,”
ungkap Hentje Pongoh. Pengamat penerbangan dari Pacific Aviation itu
menjelaskan faktor eksternalnya, antara lain, persaingan pasar dan peraturan
pemerintah. Adapun faktor internalnya meliputi SDM dan organisasi perusahaan,
finansial, teknis, serta operasional. Sebagai perusahaan yang didirikan,
dimiliki, dan dijalankan oleh sebuah keluarga, jelas bahwa Adam Air memilki
gaya manajemen keluarga. Anggota senior dalam keluarga cenderung lebih dominan
terhadap anggota keluarga yang lebih junior, terutama dalam pengambilan
keputusan terakhir.
Bahkan kabarnya, peran Sandra Ang (Ibu Adam Adhitya
Suherman) sebagai komisaris lebih dominan ketimbang Adam Adhitya Suherman yang
menjadi Presdir Adam Air. Menurut Gustiono, mantan Direktur Keuangan dan
Wapresdir Adam Air, Sandra merupakan tokoh kunci yang mengatur semuanya, dari
hal kecil hingga besar. Misalnya, pengembalian uang tiket dari hasil penjualan
yang tidak disetorkan ke rekening, diinstruksikan oleh Sandra untuk dikirim ke
rumahnya di Pluit, Jakarta Utara. Selain itu, dalam perekrutan karyawan, dia
juga banyak berperan tanpa melihat kompetensi calon. “Direksi boleh dibilang
hanya sebagai boneka,” ungkap Gustiono. Lebih konyol lagi, Sandra pun berperan
dalam penentuan pemberangkatan pesawat. Ini dibuktikan dengan kacau-balaunya
proses maintenance karena anak sulungnya, Rusman Suherman, ikut
cawe-cawe. Padahal, komando tertinggi seharusnya berada di tanya Direktur
Teknon, Rinaldy Yuliddin. Toh, kenyataannya, Rinaldy tidak bisa mengambil
keputusan bila tidak mendapat lampu hijau dari Rusman. “Rusman ini posisinya
apa, karena tidak ada dalam struktur organisasi.” Ujar Gustiono kesal.
“Karena, apa yang ada di mata keluarga ini
(Suherman) selalu dinilai dengan uang, uang, dan uang untuk mengeruk kekayaan,
“Kapten Sugoro menimpali. Mantan pilot Adam Air ini tak habis pikir mengapa
perusahaan penerbangan yang dikelola manajemen amburadul itu bisa maju beberapa
waktu lalu. “Terus terang, saya kagum sekaligus kaget dengan gaya manajemen
Adam Air,” kata pria yang pernah 13 tahun menjadi pilot Merpati Airlines itu.
Sugoro menemukan beberapa penyimpangan pengellaan Adam Air. Contohnya, kontrak
kerja karyawan yang dianggapnya menyalahi aturan ketenagakerjaan. “Manajemen
juga selalu memberi janji-janji muluk,” imbuhnya. Manajemen mengatakan, jika
kondisi perusahaan mulai membaik, otomatis penghasilan meningkat dan karyawan
bakal diberi saham. Akan tetapi, faktanya, kini gaji karyawan saja sering
telat.
Mantan pilot Adam Air lainnya pun tak kalah sengit
mengkritik kepemimpinan keluarga Suherman. “Pemilik Adam Air bisa dikatakan
bermodal coba-coba dalam membangun bisnis penerbangan,” ucap mantan eksekutif
Adam Air yang ogah disebutkan identitasnya itu. Tak bisa dipungkiri, bisnis
airlines merupakan prestise tersendiri bagi keluarga Suherman. “Jangan salah
lho, sebenarnya yang menurup Adam Air itu ya pemiliknya sendiri. Jadi, bukan
semata-mata di-grounded pemerintah atau tidak meraih profit,” dia menegaskan.
Sebab, idealnya, dalam bisnis penerbangan, semuanya telah ada cetak biru atau
bakunya. Sayang, dalam praktiknya serng diselewengkan. Umpamanya, saat dia
mengajukan dana Rp.100 juta ke pemilik untuk kepentingan standar keamanan
pesawat, rupanya ditawar, hanya diberi Rp.50 juta. Tentu saja dengan anggaran
yang sedikit, kualitas perbaikan pesawat atau penggantian suku cadang pesawat
menjadi kurang.
Kasus lainnya, manakala dia meminta penggantian ban
roda pesawat menjadi baru semua, pemilik ternyata menolak. Mereka bahkan
menyarankan agar ban pesawat memakai yang vulkanisir. Padahal, ban vulkanisir
yang bersetifikat pun maksimal hanya bisa dipakai tiga kali penerbangan.
Celakanya, akibat ban vulkanisir itu alih-alih menghemat, malah pesawatnya
hancur gara-gara kecelakaan, bahkan kini izin terbangnya dicabut. “Secara
pribadi, kalau melihat apa yang terjadi di Adam Air, jujur saja kok seperti
mengelola toko kelontong saja,” katanya
kesal. Dia mengungkapkan, pemilik kerap mem-by-pass dalam pengambilan
keputusan. Dia pun tidak setuju jika penyeban kecelakaan Adam Air selama ini
dialamatkan ke para pilot. Skill pilot Adam Air, menurutnya, sudah kompeten dan
sesuai dengan aturan.
Berbeda dari beberapa rekannya yang mengecam manajemen
Adam Air, Rinaldy Yuliddin justru memuji, “Tidak ada intervensi Sandra Ang dan
Adam Suherman. Mereka sangat profesional,” tuturnya. Sejak dia bergabung dengan
Adam Air pada tahun 2005, suku cadang yang dipakai maskapai itu telah sesuai
dengan aturan Company Maintenance Manual. Setiap hari, ada tiga jadwal
perawatan rutin yang harus dilakukan, yakni sebleum terbang, saat transit, dan
harian yang dilakukan oleh teknisi Adam Air yang berlisensi.
Kendati demikian, di mata pengamat bisnis
penerbangan, kiprah keluarga Suherman mengelola Adam Air pun dinilai tidak
profesional. Rhenald Kasali mengatakan, jika diibaratkan dengan model DNA,
karakter keluarga ini ber-DNAnya pedagang, mentalnya informal. Ironisnya, di
industri airlines tidak bisa begitu. Semua sistemnya harus jelas karena
regulasinya banyak,” ujar pakar manajemen dari Magister Manajemen Universitas
Indonesia.
Ketika kondisi manajemen Adam Air agak oleng,
masuklah investor baru, yaitu Grup Bhakti Investama melalui PT. Global
Transport Service dan PT. Bright Star Perkasa pada tanggal 7 Maret 2007. Bhakti
menyetor modal Rp.157,5 miliar untuk mendapatkan porsi saham 50%. Investor baru
diharapkan meningkatkan kinerja Adam Air. Ternyata, hasilnya di luar dugaan.
“Bergabungnya Bhakti dengan Adam Air setahun terakhir tidak terlalu banyak
memberikan perubahan positif,” Ujar Nasrullah Nawawi, Manajer SDM & Legal
Adam Air, menegaskan. Pihak pendiri tetap tidak transparan dalam pengadaan
barang. Di sisi lain, pihak Bhakti terlalu cepat memaksakan sistem yang mereka
inginkan tanpa peduli kultur pemilik lama. Bisa ditebak, kisruh di antara kedua
pemegang saham itu makin memuncak. Buntutnyam keluarga Suherman dilaporkan
Bhakti telah menggelapkan uang. Misalnya, penjualan tiket tercatat Rp.1,172
triliun, tapi uang yang masuk ke rekening perusahaan hanya Rp.1,139 triliun.
Lalu, pembelian suku cadang senilai Rp.120,8 miliar tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Bahkan pada tahun 2005, Adam Air ketahuan tidak membayar
pajak sebesar Rp.15,24 miliar.
Terlepas dari carut-marutnya manajemen Adam Air,
harus diakui maskapai itu telah berhasil membentuk citra sebagai salah satu low
cost carrier (LCC) terbaik di Indonesia sehingga menjadi salah satu pemain
kuat di jalur penerbangan domestik. Namun, jumlah angkutan penumpang (pax
load factor) yang tinggu itu tidak diimbangi dengan low operating cost (biaya
operasional penerbangan yang rendah). Alhasil, lebih besar pasak daripada
tiangnya.
Menurut Hentje, banyak pelajaran berharga yang bisa
dipetik dari kasus kegagalan bisnis Adam Air sebagai LCC. Pertama, maskapai
penerbangan yang menjual tiketnya dengan tarif murah juga harus memerhatikan
dan menjaga agar biaya operasional penerbangannya tetap rendah (low
operating cost). Sebab, Cuma maskapai penerbangan yang memiliki struktur
biaya operasional paling rendah yang bakal memenangi persaingan. Kedua, SDM
yang berpengalaman, kompeten, dan profesional merupakan aset terbesar dan
terpenting dalam bisnis pengerbangan serta menentukan maju-mundurnya perusahaan
penerbangan. Ketiga, peran pemerintah sebagai regulator dan pengontrol
perusahaan penerbangan harus benar-benar dijalankan secara konsisten dan tanpa
pandang bulu.
Yang jelas, untuk menjadi maskapai teladan dalam
industri penerbangan di Indonesia, menurut Hentje, ada beberapa aspek yang
harus dipenuhi. Dari sudut pandang konsumen, harus memiliki standar keamanan,
keselamatan, dan pelayanan yang tinggi, serta tarif yang terjangkau oleh
masyarakat. Dari sisi karyawan, wajib memiliki standar kesejahteraan dan pelayanan
yang tinggu, serta komunikasi dua arah secara sehat. Lalu, dari sudut pandang
pemerintah, harus menegakkan peraturan yang berlaku.
Reportase : Afif Maulana Dewanda, Darandono, Herning
Banirestu, M.Husni Mubarak, S.Ruslina, Tutur Handayani, dan Wini Angraen/Riset:
Sarah Ratna Herni.
Pertanyaan untuk
Diskusi
Dosen Anda akan memberikan pertanyaan mengenai kasus
di atas.
Pemahaman Mengenai
Etika dalam Berbisnis
Dalam berwirausaha, apapun juga bisnis yang Anda
tekuni, ingatlah bahwa usaha yang langgeng adalah usaha yang dijunjung oleh
nilai-nilai etika. Berbagai studi menemukan, perusahaan-perusahaan yang tumbuh
menjadi besar bukanlah perusahaan yang diawali oleh manajer-manajer hebat yang
digaji mahal, atau dibangun oleh pendiri yang luar biasa. Juga bukan spirit
kewirausahaan gila-gilaan dengan keberanian luar biasa. Demikian juga bukan
modal kuat atau kecerdasan para pendirinya.
Perusahaan yang tumbuh menjadi besar justru dimulai
dari orang-orang biasa yang sedari awal memegang teguh nilai-nilai moral dan
etika. Mereka menjaga kepercayaan dan tidak sembarangan dalam berkata-kata,
apalagi dalam bertindak. Mereka bekerja dengan tata nilai, dan merekrut orang
dengan melihat nilai-nilai yang dianutnya. Mereka menanamkan nilai-nilai yang
sehat sedari awal.
Apakah yang dimaksud dengan etika? Beberapa sumber
menyebut etika sebagai suatu pedoman untuk mendapatkan hidup yang bernilai atau
bermartabat. Untuk itulah, etika memberikan petunjut tindakan-tindakan apa yang
benar dan apa yang salah. Menurut The World Book Encyclopedia (2008),
etika mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang benar dan salah dengan
menggunakan metode “reasoning” , bukan benar-salah menurut kepercayaan
atau tradisi.
Oleh karena itu, selalu ada “reason” (alasan)
mengapa kita harus memegang teguh etika. Perhatikan pernyataan-pernyataan
berikut ini dan lihatlah apa yang akan Anda dapatkan kalau Anda konsisten
menjalankan apa yang Anda katakan (Maxwell, 1982).
Apa yang Saya
Katakan
|
Apa yang Saya
Lakukan
|
Apa yang
Mereka Kerjakan
|
Saya berkata kepada
karyawan: “Datanglah ke kantor tepat waktu
|
Saya tiba
tepat waktu
|
Mereka datang
tepat waktu
|
Saya berkata
kepada karyawan: “Bersikaplah Positiv”
|
Saya
menunjukkan sikap positiv
|
Mereka akan
berperilaku positif
|
Saya berkata
kepada karyawan: “Utamakan Pelanggan”
|
Saya
mendahulukan konsumen
|
Mereka
mengutamakan konsumen
|
Sekarang, apa jadinya kalau hal yang saya lakukan
berbeda dengan yang saya ucapkan seperti berikut ini:
Apa yang Saya
Katakan
|
Apa yang Saya
Lakukan
|
Apa yang
Mereka Katakan
|
Saya berkata
kepada karyawan: “Datanglah ke kantor tepat waktu
|
Saya selalu
terlambat
|
Beberapa
karyawan akan tepat waktu dan lainnya tidak
|
Saya berkata
kepada karyawan: “Bersikaplah Positiv”
|
Saya
menjalankan perilaku negatif
|
Hanya beberapa
orang yang positif, selebihnya berperilaku negatif
|
Saya berkata
kepada karyawan: “Utamakan Pelanggan”
|
Saya
mengutamakan diri saya lebih dulu
|
Hanya beberapa
orang yang mendahulukan pelanggan, yang lainnya tidak.
|
0 komentar:
Posting Komentar